Satu petani 
satu sapi merupakan program yang mengefesienkan dan produktivitas petani
 di Sumatera Barat yang disinergikan dengan gerakan pensejahteraan 
petani. Semenjak digulirkan tahun lalu, telah memperlihatkan hasil.
Pada 
September 2011 lalu, Pemprov Sumbar meluncurkan program satu petani 
satu sapi. Setiap petani kurang mampu yang memiliki banyak waktu luang, 
diberdayakan dengan memelihara seekor sapi. Sebab dalam kajian yang 
dilakukan, jam kerja efektif petani itu hanya 3,5 jam/hari. Waktu luang 
yang banyak itu akan diisi dengan memelihara ternak sapi.
Dalam 
perjalanannya,  program satu petani satu sapi  dibungkus menjadi 
program gerakan pensejahteraan petani (GPP). Program ini dilaksanakan 
secara terintegrasi seluruh sektor terkait, seperti peternakan, 
perikanan, perkebunan, kehutanan dan pertanian.
Menurut 
Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, modal pengadaan sapi bagi program satu 
petani satu sapi ini berawal dari dukungan para pegawai negeri sipil 
(PNS) di lingkungan Pemprov Sumbar terutama pegawai eselon II, III dan 
IV. Dukungan modal dari PNS ini, diharapkan dapat sebagai contoh bagi 
pola pengumpulan modal lainnya.
“Modal 
awalnya dari dukungan pada PNS di lingkungan Pemprov Sumbar. Tapi 
pihak lain juga bisa berkontribusi, seperti bantuan dari kalangan 
perantau Minang serta pihak ketiga baik swasta maupun BUMN,” kata 
Irwan.
Setelah 
program percontohan satu petani satu sapi di lingkungan Pemprov Sumbar 
dimulai, potensi perantau pun dijajaki. Salah satunya ketika pertemuan 
Saudagar Muda Minang (SMM) pada 15-16 September 2010 di Padang, 
ditawarkan sejumlah program yang bersentuhan dengan pemberdayaan 
masyarakat di antaranya satu petani satu sapi.
Dalam 
perjalanannya, program satu petani satu sapi dibungkus menjadi program 
Gerakan Pensejahteraan Petani (GPP) yang dilaksanakan secara 
terintegrasi dengan sektor lainnya. GPP merupakan gerakan terpadu yang 
diprioritaskan untuk mengentaskan kemiskinan dan pengangguran 
masyarakat.
Sasaran yang
 hendak dicapai GPP antara lain meningkatkan jam kerja efektif Rumah 
Tangga Petanbi (RTP) dari 3,5 jam/hari menjadi paling tidak 8 jam/hari, 
melakukan diversifikasi usaha tani secara terpadu menjadi minimal 3 
jenis usaha setiap RTP. Melalui GPP diharapkan dapat meningkatkan 
pendapatan petani menjadi Rp2.000.000/bulan.
“Melalui 
GPP, petani minimal memiliki 3 usaha tani, selain usaha utamanya 
bertanam padi juga bisa punya kolam ikan atau bertanam kakao. Atau 
kombinasi bertanam padi, punya ternak sapi dan kolam ikan. Pilihan usaha
 sangat tergantung potensi daerahnya,” jelas Irwan.
Ketika 
dimulai awal 2011, program GPP dialokasikan pada 62 
nagari/desa/kelurahan yang tersebar pada 18 kabupaten/kota. Selanjutnya 
dari nagari yang telah ditetapkan peserta GPP, ditentukan pula kelompok 
tani sasaran berdasarkan usulan kabupaten/kota.
Sapi 8.409 Ekor untuk Petani
Program satu
 petani satu sapi diluncurkan Pemprov Sumbar tak terlepas dari besarnya 
potensi peternakan sapi di daerah ini. Berdasarkan kajian Fakultas 
Peternakan Univesitas Andalas  Padang tahun 2006, potensi lahan di 
Sumbar mampu menampung sebanyak 3,2 juta ekor sapi dan kerbau.
Sementara 
populasi sapi dan kerbau di Sumbar saat ini baru sekitar 500 ribu ekor. 
Masih terbuka peluang untuk pengembangan sapi dan kerbau sebanyak 2,7 
juta ekor lagi. Soal pakan juga tak perlu dikhawatirkan.
“Potensi 
pengembangan peternakan sapi dan kerbau di daerah ini cukup besar. Masih
 tersedia lahan untuk 2,7 juta ekor sapi dan kerbau. Pakan hijauannya 
juga mencukupi,” terang Kepala Dinas Peternakan Sumbar, Edwardi.
Sebanyak 
8.409 ekor sapi untuk petani yang tergabung dalam program satu petani 
satu sapi pun dibagikan. Jenisnya sapi bali, sapi peranakan ongole (PO) 
dan sapi turunan simental. Sapi-sapi yang akan dibagikan kepada petani 
untuk meningkatkan jam kerjanya ini, berasal dari pembiayaan APBD Sumbar
 sebesar Rp7,27 miliar.
APBN juga 
mengucurkan dana sebesar Rp65,412 miliar, dana perusahaan yang berasal 
dari CSR dan karyawan Rp2,765 miliar, bantuan investor baik PNS maupun 
perantau Rp240 juta dan dana perbankan berupa KUPS dan KUR sebesar 
Rp11,204 miliar, atau total seluruhnya Rp86,892 miliar.
Sapi Bali 
yang didatangkan itu memiliki spesifikasi tinggi minimal 105 cm dengan 
nilai kontrak pengadaan RpRp5,85 juta/ekor untuk sapi betina dan Rp7,5 
juta/ekor untuk sapi jantan. Selanjutnya Sapi PO dengan nilai kontrak 
Rp7,75 juta/ekor untuk sapi jantan dan Rp7,15 juta/ekor untuk sapi 
betina. Terakhir pengadaan sapi turunan simental dengan nilai kontrak 
Rp9 juta/ekor untuk sapi betina, tidak ada sapi jantannya.
“Bila 
ditemukan sapi yang tidak sesuai dengan spesifikasinya, petani dapat 
meminta ganti. Sapi yang tidak sesuai spesifikasi akan ditukar dengan 
yang lain. Hal itu sudah diketahui oleh pihak pengadaan,” terang 
Edwardi.
Masyarakat 
petani penerima diharapkan dapat memeliharanya dengan baik dan dapat 
pula berkembang sesuai dengan yang diharapkan. Yang pasti, sapi 
tersebut bukan jatah dari pemerintah daerah. Petani tidak diperkenankan 
memperjualbelikan sapi yang diberikan.
“Kita akan 
proses sesuai hukum yang berlaku bagi petani yang ketahuan nanti menjual
 sapinya tanpa sepengetahuan ketua kelompoknya,” ujar Edwardi.
Bantuan Sapi Berupa Uang Tunai
Tidak 
seluruh kelompok penerima program ini dalam bentuk barang, berupa sapi.
 Sebab sebagian diantaranya menerima dalam bentuk bantuan sosial 
(bansos) berupa uang tunai. Uang ditransfer ke rekening kelompok untuk 
dibelikan ternak sapi.
Menurut 
Edwardi, kelompok penerima sebelumnya mesti mengajukan Rencana Usaha 
Kelompok (RUK). Pencairan dananya dilakukan 3 tahap, masing-masing 
Tahap I 30 persen, Tahap II 40 persen dan Tahap III 30 persen.
Bagi pihak 
yang berlaku curang, menyalahgunakan dana yang diberikan, maka 
sanksinya juga akan diproses sesuai hukum yang berlaku.
Program Satu
 Petani Satu ini, lanjutnya, baru dapat terlihat hasilnya setelah 3 
tahun kemudian, tepatnya pada 2014 mendatang. Ternak yang dibantu akan 
berkembang biak.
Dukungan Kementerian Pertanian
Upaya 
Pemprov Sumbar di bidang pengembangan peternakan sapi mendapat perhatian
 khusus dari Kementrian Pertanian RI.  Bahkan peluang terbuka lebar bagi
 Sumbar sebagai daerah Sentra Sapi Perah dan Sapi Potong di wilayah 
Sumatera. Syaratnya polulasi sapi dapat ditingkatkan lagi dan jaminan 
ketersediaan pakan hijau.
Pemerintah 
pun melalui APBN 2012 sudah mengucurkan  dana Rp4,5 miliar untuk 
pengadaan sapi perah. APBD Sumbar juga menyediakan dukungan dana Rp750 
juta untuk pengadaan pejantan unggul (bull) sebanyak 5 ekor dari 
Australia. Dan daya dukung lahan di Sumbar ternyata mampu menampung 
3,2 juta ekor sapi.
“Kita akan 
berikan perhatian khusus untuk Sumbar dan mempertimbangkannya menjadi 
Sentra Sapi Perah dan Sapi Potong untuk wilayah Sumatera,” kata Wakil 
Menteri Pertanian RI Rusman Heriawan saat penutupan Livestock Expo 
Sumbar ke-4 beberapa waktu lalu.
Dikatakan, 
semua bisa terwujud, tergantung upaya maksimal dari masyarakat, peternak
 dan Dinas Peternakan Sumbar. Yang pasti, populasi sapi harus ditambah 
dan adanya jaminan pakan hijau sebagai kebutuhan utama sapi-sapi 
tersebut.
Diharapkan 
lewat kegiatan tahunan Live Expo ini, dapat memotivasi dan membangkitkan
 semangat peternak untuk mengembangkan populasi ternaknya menuju 
swasembada daging dan pasokan susu murni. Di tempat ini mereka 
berkumpul, saling berbagi pengalaman dan belajar dengan rekannya dari 
kabupaten/kota lainnya di Sumbar. Ilmu yang diperoleh itu hendaknya 
dapat dikembangkan di daerahnya masing-masing.
Memang tidak
 banyak provinsi yang menggelar kegiatan serupa dan rutin diadakan 
setiap tahun. Untuk itu apresiasi bagi Sumbar yang memiliki komitmen 
yang tinggi di bidang pembangunan peternakan, sekaligus tantangan bagi 
peternak sapi potong dan sapi perah.
Menurut 
Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, komitmen pembangunan di bidang 
peternakan tak terlepas dari upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan 
kesejahteraan masyarakat. Usaha pertanian yang dikelola masyarakat 
selama ini masih belum maksimal, dengan jam kerja 3 jam/hari sementara 
lahan yang dimiliki hanya 0,3 hektare.
Melalui 
program Gerakan Pensejahteraan Petani (GPP) yang didalamnya ada program
 satu petani satu sapi, maka efektifitas kerja petani ditingkatkan, 
disamping menanam padi juga memelihara ternak seperti sapi, kambing, 
kerbau dan ayam. Dilengkapi lagi dengan usaha bidang perikanan dan 
perkebunan seperti kolam ikan dan kebun kakao, tergantung potensi 
masing-masing daerah.
“Kita sangat komit untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui GPP, termasuk didalamnya peternakan,” kata Irwan.
Sentra Pemerahan Susu di Sumatera
Rusman juga 
menyebutkan, Sumbar juga berpeluang sebagai sentra pemerahan susu di 
Sumatera. Sebab sampai saat ini sentra pemerahan susu terpusat di pulau 
Jawa, seperti di Lembang , Pengalengan (Jawa Barat), Banyumas dan 
Ungaran (Jawa Tengah).
Sedangkan di
 luar Jawa khususnya Sumatera, belum ada sentra pemerahan susu. Yang ada
 hanya beberapa industri pemerahan susu. Padahal susu dikonsumsi  merata
 oleh seluruh penduduk di tanah air dari Sabang ke Merauke, sedangkan 
sentra produksinya tidak demikian, terpusat di Jawa saja.
“Untuk luar 
Jawa, belum ada sentra pemerahan susu yang diansalkan, yang ada hanya 
industriu pemerahan susu. Bila ingin siswa sekolah sebagai target 
konsumen susu segar maka sentra produksinya harus tersebar merata di 
sejumlah daerah, termasuk di Sumbar,” katanya.
Konsumsi 
susu segar masyarakat Indonesia masih sangat rendah, hanya 11 
liter/kapita/tahun atau setara 5 tetes/hari, paling rendah di Asia 
Tenggara. Thailan mengkonsumsi 22 liter/kapita/tahun,  Malaysia 
mengkonsumsi 27 liter/kapita/tahun. Belanda tercatat paling tinggi 
konsumsi susunya 130 liter/kapita/tahun.
Haluan, 29 Juli 2012