29 Juli 2012

Mengangkat Harkat Petani

SATU PETANI SATU SAPI

Satu petani satu sapi merupakan program yang mengefesienkan dan produktivitas petani di Sumatera Barat yang disinergikan dengan gerakan pensejahteraan petani. Semenjak digulirkan tahun lalu, telah memperlihatkan hasil.

Pada September 2011 lalu, Pemprov Sumbar melun­curkan program satu petani satu sapi. Setiap petani kurang mampu yang memiliki banyak waktu luang, diber­dayakan dengan memelihara seekor sapi. Sebab dalam kajian yang dilakukan, jam kerja efektif petani itu hanya 3,5 jam/hari. Waktu luang yang banyak itu akan diisi dengan memelihara ternak sapi.

Dalam perjalanannya,  prog­ram satu petani satu sapi  dibungkus menjadi program gerakan pensejah­teraan petani (GPP). Program ini dilaksa­nakan secara terin­tegrasi seluruh sektor terkait, seperti peternakan, perikanan, perke­bunan, kehutanan dan perta­nian.

Menurut Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, modal penga­daan sapi bagi program satu petani satu sapi ini berawal dari dukungan para pegawai negeri sipil (PNS) di ling­kungan Pemprov Sumbar terutama pegawai eselon II, III dan IV. Dukungan modal dari PNS ini, diharapkan dapat sebagai contoh bagi pola pengumpulan modal lainnya.

“Modal awalnya dari du­kungan pada PNS di ling­kungan Pemprov Sumbar. Tapi pihak lain juga bisa berkontribusi, seperti bantuan dari kalangan perantau Mi­nang serta pihak ketiga baik swasta maupun BUMN,” kata Irwan.

Setelah program percon­tohan satu petani satu sapi di lingkungan Pemprov Sumbar dimulai, potensi perantau pun dijajaki. Salah satunya ketika pertemuan Saudagar Muda Minang (SMM) pada 15-16 September 2010 di Padang, ditawarkan sejumlah program yang bersentuhan dengan pemberdayaan masyarakat di antaranya satu petani satu sapi.

Dalam perjalanannya, program satu petani satu sapi dibungkus menjadi program Gerakan Pense­jahteraan Petani (GPP) yang dilak­sanakan secara terintegrasi dengan sektor lainnya. GPP meru­pakan gerakan terpadu yang diprioritaskan untuk mengentaskan kemiskinan dan pengangguran masyarakat.

Sasaran yang hendak dicapai GPP antara lain meningkatkan jam kerja efektif Rumah Tangga Petanbi (RTP) dari 3,5 jam/hari menjadi paling tidak 8 jam/hari, melakukan diversifikasi usaha tani secara terpadu menjadi minimal 3 jenis usaha setiap RTP. Melalui GPP diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani menjadi Rp2.000.000/bulan.

“Melalui GPP, petani minimal memiliki 3 usaha tani, selain usaha utamanya bertanam padi juga bisa punya kolam ikan atau bertanam kakao. Atau kombinasi bertanam padi, punya ternak sapi dan kolam ikan. Pilihan usaha sangat tergan­tung potensi daerahnya,” jelas Irwan.

Ketika dimulai awal 2011, program GPP dialokasikan pada 62 nagari/desa/kelurahan yang tersebar pada 18 kabupaten/kota. Selanjutnya dari nagari yang telah ditetapkan peserta GPP, ditentukan pula kelompok tani sasaran berda­sar­kan usulan kabupaten/kota.

Sapi 8.409 Ekor untuk Petani
Program satu petani satu sapi diluncurkan Pemprov Sumbar tak terlepas dari besarnya potensi peternakan sapi di daerah ini. Berdasarkan kajian Fakultas Peternakan Univesitas Andalas  Padang tahun 2006, potensi lahan di Sumbar mampu menampung sebanyak 3,2 juta ekor sapi dan kerbau.

Sementara populasi sapi dan kerbau di Sumbar saat ini baru sekitar 500 ribu ekor. Masih terbuka peluang untuk pengembangan sapi dan kerbau sebanyak 2,7 juta ekor lagi. Soal pakan juga tak perlu dikhawatirkan.
“Potensi pengembangan peternakan sapi dan kerbau di daerah ini cukup besar. Masih tersedia lahan untuk 2,7 juta ekor sapi dan kerbau. Pakan hijauannya juga mencukupi,” terang Kepala Dinas Peternakan Sumbar, Edwardi.

Sebanyak 8.409 ekor sapi untuk petani yang tergabung dalam program satu petani satu sapi pun dibagikan. Jenisnya sapi bali, sapi peranakan ongole (PO) dan sapi turunan simental. Sapi-sapi yang akan dibagikan kepada petani untuk meningkatkan jam kerjanya ini, berasal dari pembiayaan APBD Sumbar sebesar Rp7,27 miliar.

APBN juga mengucurkan dana sebesar Rp65,412 miliar, dana perusahaan yang berasal dari CSR dan karyawan Rp2,765 miliar, bantuan investor baik PNS maupun perantau Rp240 juta dan dana perbankan berupa KUPS dan KUR sebesar Rp11,204 miliar, atau total seluruhnya Rp86,892 miliar.

Sapi Bali yang didatangkan itu memiliki spesifikasi tinggi minimal 105 cm dengan nilai kontrak pengadaan RpRp5,85 juta/ekor untuk sapi betina dan Rp7,5 juta/ekor untuk sapi jantan. Selanjutnya Sapi PO dengan nilai kontrak Rp7,75 juta/ekor untuk sapi jantan dan Rp7,15 juta/ekor untuk sapi betina. Terakhir pengadaan sapi turunan simental dengan nilai kontrak Rp9 juta/ekor untuk sapi betina, tidak ada sapi jantannya.

“Bila ditemukan sapi yang tidak sesuai dengan spesifikasinya, petani dapat meminta ganti. Sapi yang tidak sesuai spesifikasi akan ditukar dengan yang lain. Hal itu sudah diketahui oleh pihak penga­daan,” terang Edwardi.

Masyarakat petani penerima diharapkan dapat memeliharanya dengan baik dan dapat pula ber­kembang sesuai dengan yang diharapkan. Yang pasti, sapi tersebut bukan jatah dari pemerintah daerah. Petani tidak diperkenankan mem­perjualbelikan sapi yang diberikan.

“Kita akan proses sesuai hukum yang berlaku bagi petani yang ketahuan nanti menjual sapinya tanpa sepengetahuan ketua kelompoknya,” ujar Edwardi.

Bantuan Sapi Berupa Uang Tunai
Tidak seluruh kelompok pene­rima program ini dalam bentuk barang, berupa sapi. Sebab sebagian diantaranya menerima dalam bentuk bantuan sosial (bansos) berupa uang tunai. Uang ditransfer ke rekening kelompok untuk dibe­likan ternak sapi.

Menurut Edwardi, kelompok penerima sebelumnya mesti menga­jukan Rencana Usaha Kelompok (RUK). Pencairan dananya dila­kukan 3 tahap, masing-masing Tahap I 30 persen, Tahap II 40 persen dan Tahap III 30 persen.

Bagi pihak yang berlaku curang, menyalahgunakan dana yang dibe­rikan, maka sanksinya juga akan diproses sesuai hukum yang berlaku.

Program Satu Petani Satu ini, lanjutnya, baru dapat terlihat hasilnya setelah 3 tahun kemudian, tepatnya pada 2014 mendatang. Ternak yang dibantu akan berkem­bang biak.

Dukungan Kementerian Pertanian
Upaya Pemprov Sumbar di bidang pengembangan peternakan sapi mendapat perhatian khusus dari Kementrian Pertanian RI.  Bahkan peluang terbuka lebar bagi Sumbar sebagai daerah Sentra Sapi Perah dan Sapi Potong di wilayah Sumatera. Syaratnya polulasi sapi dapat ditingkatkan lagi dan jaminan ketersediaan pakan hijau.

Pemerintah pun melalui APBN 2012 sudah mengucurkan  dana Rp4,5 miliar untuk pengadaan sapi perah. APBD Sumbar juga menye­diakan dukungan dana Rp750 juta untuk pengadaan pejantan unggul (bull) sebanyak 5 ekor dari Aus­tralia. Dan daya dukung lahan di Sumbar ternyata mampu menam­pung 3,2 juta ekor sapi.

“Kita akan berikan perhatian khusus untuk Sumbar dan mem­pertimbangkannya menjadi Sentra Sapi Perah dan Sapi Potong untuk wilayah Sumatera,” kata Wakil Menteri Pertanian RI Rusman Heriawan saat penutupan Livestock Expo Sumbar ke-4 beberapa waktu lalu.

Dikatakan, semua bisa terwujud, tergantung upaya maksimal dari masyarakat, peternak dan Dinas Peternakan Sumbar. Yang pasti, populasi sapi harus ditambah dan adanya jaminan pakan hijau sebagai kebutuhan utama sapi-sapi tersebut.

Diharapkan lewat kegiatan tahunan Live Expo ini, dapat memotivasi dan membangkitkan semangat peternak untuk mengem­bangkan populasi ternaknya menuju swasembada daging dan pasokan susu murni. Di tempat ini mereka berkumpul, saling berbagi penga­laman dan belajar dengan rekannya dari kabupaten/kota lainnya di Sumbar. Ilmu yang diperoleh itu hendaknya dapat dikembangkan di daerahnya masing-masing.

Memang tidak banyak provinsi yang menggelar kegiatan serupa dan rutin diadakan setiap tahun. Untuk itu apresiasi bagi Sumbar yang memiliki komitmen yang tinggi di bidang pembangunan peternakan, sekaligus tantangan bagi peternak sapi potong dan sapi perah.

Menurut Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, komitmen pembangunan di bidang peternakan tak terlepas dari upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Usaha pertanian yang dikelola masyarakat selama ini masih belum maksimal, dengan jam kerja 3 jam/hari sementara lahan yang dimiliki hanya 0,3 hektare.

Melalui program Gerakan Pen­sejahteraan Petani (GPP) yang didalamnya ada program satu petani satu sapi, maka efektifitas kerja petani ditingkatkan, di­samping menanam padi juga me­melihara ternak seperti sapi, kambing, kerbau dan ayam. Di­lengkapi lagi dengan usaha bidang perikanan dan perkebunan seperti kolam ikan dan kebun kakao, tergantung potensi masing-masing daerah.

“Kita sangat komit untuk me­ning­katkan kesejahteraan ma­syarakat melalui GPP, termasuk didalamnya peternakan,” kata Irwan.

Sentra Pemerahan Susu di Sumatera
Rusman juga menyebutkan, Sumbar juga berpeluang sebagai sentra pemerahan susu di Sumatera. Sebab sampai saat ini sentra pemerahan susu terpusat di pulau Jawa, seperti di Lembang , Penga­lengan (Jawa Barat), Banyumas dan Ungaran (Jawa Tengah).

Sedangkan di luar Jawa khususnya Sumatera, belum ada sentra pemerahan susu. Yang ada hanya beberapa industri pemerahan susu. Padahal susu dikonsumsi  merata oleh seluruh penduduk di tanah air dari Sabang ke Merauke, sedangkan sentra produksinya tidak demikian, terpusat di Jawa saja.

“Untuk luar Jawa, belum ada sentra pemerahan susu yang diansalkan, yang ada hanya industriu pemerahan susu. Bila ingin siswa sekolah sebagai target konsumen susu segar maka sentra produksinya harus tersebar merata di sejumlah daerah, termasuk di Sumbar,” katanya.

Konsumsi susu segar masyarakat Indonesia masih sangat rendah, hanya 11 liter/kapita/tahun atau setara 5 tetes/hari, paling rendah di Asia Tenggara. Thailan mengkonsumsi 22 liter/kapita/tahun,  Malaysia mengkonsumsi 27 liter/kapita/tahun. Belanda tercatat paling tinggi konsumsi susunya 130 liter/kapita/tahun.

Haluan, 29 Juli 2012