22 Maret 2011

Bang Rida: Maaf Pak Gubernur…

Oleh Basril Basyar
(Ketua PWI Sumbar)

Berawal dari permintaan maaf Bang Rida pada malam resepsi HUT ke-12 Padang Ekspres di Convention Center UPI YPTK Padang, Minggu (20/3) malam. Selaku Chairman RPG (Riau Pos Group), Bang Rida-demikian Rida K Liamsi akrab dipanggil-menyampaikan permintaan maaf kepada Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno.

“Mungkin saja ada pemberitaan yang kurang berkenan di hati Pak Gubernur selama Padang Ekspres berkiprah di daerah ini. Atas nama pimpinan saya mohon maaf,” kata Bang Rida. Begitulah sikap beliau sebagai pimpinan pucuk di media cetak yang terus menggeliat di Sumatera Barat.

Sebagai orang melayu yang santun dan selalu bersahaja, Bang Rida adalah sosok wartawan melayu yang rendah hati dan sangat dibanggakan. Beliau memulai karir dari bawah sebagai koresponden Tempo di Riau. Tidak pernah sombong dan selalu memposisikan dirinya sebagai motivator.

Cita-cita beliau, bagaimana media yang ia pimpin bisa menjadi milik masyarakat dan menyuarakan kepentingan publik. Dan, dengan demikian kehadiran Padang Ekspres di Ranah Minang akan selalu ditunggu.

Dalam posisi seperti itu pula, Bang Rida menyampaikan permintaan maaf sekiranya media mengusik kenyamanan seorang gubernur. Lalu apa kata Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno? Ternyata, apa yang disampaikan Bang Rida mendapat respon mendalam dari seorang Gubernur yang dipilih melalui pilkada langsung oleh rakyatnya.

Saya Pak Rida, kata gubernur memulai sambutannya, tidak pernah merasa terusik apalagi sakit hati akibat pemberitaan pers. Memang beberapa waktu yang silam saya sempat menjadi top dan terkenal di daerah ini, karena suatu pemberitaan. Gubernur memang tidak menyebut berita apa yang menjadikan beliau terkenal. Namun semua orang tentu mengetahui, termasuk hadirin malam itu.

Gubernur mengatakan bahwa ia memahami peranan media massa. Ia berterima kasih atas dukungan pemberitaan selama ini. Banyak informasi-informasi positif yang disampaikan. Tentu juga ada yang negatif. Namun itulah peranan media. Ketika membaca pemberitaan sebuah media tentang tugas dan tanggung jawab sebagai gubernur, ia mengaku saat itu pula langsung memanggil SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait. Dengan harapan masalah tersebut bisa diselesaikan segera.

Ia pun tidak pernah menyesalkan media dan mengaku tidak pernah memaki wartawan. “Pernah suatu ketika saya di SMS Montosori, minta tanggapan tentang sebuah pemberitaan Padek. Saya katakan, terima kasih ya. Ternyata berita Padek membuat saya terkenal ha ha ha,” kata gubernur membalas SMS itu. “Bukannya marah,” kata Montosori balik membalas. “Ya. Begitulah tipe saya Bang Rida,” kata Irwan.

Terus terang, kata Irwan, memang banyak tanggapan yang disampaikan orang yang simpatik kepadanya. Terkadang mau memukul, lempar batu, mau menganiaya sang wartawan dan lain sebagainya. Namun, ia tidak memilih jalan itu. Sebab, ia merasakan sangat banyak bantuan media terhadap tugasnya. “Dan saya tidak akan intervensi, termasuk membuat blok-blok dan mencari dukungan lain demi membela diri saya,” kata gubernur.

Ia menyatakan akan membiarkan saja bagaimana media menyikapi tugas-tugasnya sebagai gubernur. Dan ia pun tidak mau dipuji. Sebab hanya Allah yang pantas dan berhak dipuji. Termasuk prestasi mendapatkan award tentang penyaluran bantuan bencana. ”Saya tak memberi tahu wartawan tentang prestasi itu. Biarlah Allah yang tahu semuanya,” kata gubernur.

Sebagai Ketua PWI Sumbar saya menghormati sikap gubernur yang telah memberikan kebebasan berekspresi kepada wartawan dan medianya. Memang itulah salah satu amanat reformasi, sebuah kebebasan. Namun saya ingin menyampaikan informasi kondisi kekinian dari kalangan wartawan. Profesi wartawan telah dimasuki berbagai kalangan dari berbagai latar belakang pendidikan, sosial bahkan perilaku. Profesi wartawan yang longgar telah dimanfaatkan banyak orang untuk berkiprah dalam bidang pers. Tidak ada larangan. Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers membuka peluang bagi semua orang menjadi wartawan dan pimpinan media. Sehingga terjadilah jungkir-balik pemberitaan. Dan, kita dengar juga nasib wartawan yang memilukan, dianiaya dan dibunuh.

Berdasarkan penelitian Dewan Pers di 15 kota besar di Indonesia, hanya 20 persen wartawan yang memahami kode etik jurnalistik. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi jurnalistik kita. Hal lain yang mungkin saja terjadi adalah ketika wartawan melakukan trial by the press, menghukum seseorang melalui pemberitaan. Kadang seorang wartawan itu dikalahkan oleh wacananya sendiri atau news as discourse. Fakta memang harus fakta yang disajikan seorang wartawan dalam pemberitaannya. Tetapi, lagi-lagi faktanya adalah sesuai dengan selera dan pesanan orang yang berkepentingan dengan itu.

Ketika saya mengikuti Forum Dialog Pers Profesional dan Bermartabat di Yogyakarta, Dr Ibnu Hamad mengatakan bahwa pemberitaan pers terkadang juga bias. Pengaruh kedekatan dengan seseorang sangat menentukan. Sesorang wartawan tanpa dia sadari akan memilih fakta yang dekat dengan emosinya.
Kadang kita sulit untuk mempercayai sebuah pemberitaan, karena suasana kebatinannya terganggu, ada kecenderungan mereka akan memiliki fakta-fakta atau frase yang dekat dengan dirinya. Doktor Komunikasi itu mengungkapkan, dalam mengkonstruksikan sebuah berita, ia akan menandai fakta dan kata yang dekat dengan dirinya. Sehingga tanpa disadari ada pihak-pihak tertentu yang merasa terdzolimi. Belum lagi kepentingan pemilik media. Oleh sebab itu, jalinan silahturahmi dan komunikasi seorang gubernur dengan wartawan dan pimpinan media sangat diperlukan. Gubernur perlu duduk bersama dengan teman-teman media. Jelaskanlah apa yang sudah dikerjakan. Termasuk menerima masukan dari tokoh-tokoh masyarakat. Apakah dilaksanakan atau tidak, gubernur punya pertimbangan ”Nan jaleh mereka alah sato sakaki.”

Ketika Gamawan Fauzi menjabat sebagai gubernur, ia melakukan komunikasi yang intens dengan wartawan, termasuk pimpinan media. Sekiranya ada hal-hal yang kurang pas dalam pemberitaan, ia melakukan klarifikasi dengan santun. Gubernur Azwar Anas juga seperti itu dan diikuti oleh penerusnya Hasan Basri Durin, Muckhlis Ibrahim, Zainal Bakar.

Kita harapkan pemimpin selalu dengan rakyat, termasuk media. Kata pepatah minang, pemimpin itu hanya ditinggikan serantiang dan didahulukan selangkah. Kalau pers dibiarkan ”bakato hatinyo”, kasian kita dengan rakyat dan daerah, kalau opini yang terbentuk tak sesuai dengan yang sebenarnya sebab belum semua mereka paham, bisa memilah mana yang benar dan mana yang tidak.

Padang Ekspres, 22 Maret 2011